Senin, 27 April 2015

makalah tentang Ibnu Jinni

BAB I
PENDAHULUAN

Islam adalah faktor penyemangat utama lahirnya berbagai disiplin ilmu-ilmu Arab Islam. Kesadaran untuk mentaati aturan-aturan (hukum) mendorong para ulama merumuskan fiqh dan kodifikasi Hadits. Kemudian muncullah berbagai kitab fiqh beserta mazhab-mazhabnya.
Perhatian terhadap Al-Qur’an pun telah mendorong mereka untuk merumuskan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan al-qur’an, dimulai dari ilmu bacaannya (al-qira’ah) hingga tafsir-tafsirnya sehingga bermunculan berbagai buku yang terkait dengan kajian al-Qur’an, seperti ilmu Nahwu dan Linguistik.
Tokoh-tokoh atau ulama saat itu dapat dikatakan multi talented, karena tidak hanya satu ilmu yang mereka pelajari tapi banyak pengetahuan yang mereka pelajari. Termasuk tokoh-tokoh linguis Arab pun kebanyakan di antara mereka seperti itu, disamping mengetahui banyak tentang linguistik, mereka juga banyak mengetahui ilmu lain.
Sejumlah linguis Arab telah menaruh perhatian terhadap linguistik sejak gerakan ilmiah dalam kerangka daulat Islam. Mereka memiliki hasil jerih payah dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan kosakata. Orang-orang yang berkecimpung dalam linguistik mengklasifikasikan dua kelompok. Kelompok pertama menaruh perhatian terhadap konstruksi bahasa, sedangkan kelompok kedua menaruh perhatian terhadap kosakata bahasa dan maknanya. Bidang kajian itu oleh kelompok pertama diilustrasikan sebagai nahwu (gramatika) atau ilmu bahasa Arab, sementara bidang tersebut diilustrasikan oleh kelompok kedua sebagai bahasa atau linguistik atau filolog.
Salah satu tokoh ilmu Nahwu yang terkenal adalah Ibnu Jinni, yang beliau juga ahli dalam ilmu Linguistik. Pada bab berikutnya, penulis akan mencoba membahas biografi Ibnu jinni dan pemikirannya dalam linguistik.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    BIOGRAFI IBNU JINNI
Nama lengkapnya ialah Abu al-Fath Utsman Ibnu Jinni, lahir di Mausil (Mosul) Irak. Tidak ada sumber sejarah yang pasti menginformasikan tahun kelahirannya, tetapi ada yang berspekulasi bahwa ibnu Jinni lahir pada tahun 321 H atau 322 H. Ayahnya adalah seorang berbangsa Romawi, Ia menjadi hamba sahaya dalam bahasa yunani dikenal dengan Gennaius.[1] dari Sulaiman bin Fahd bin Ahmad al-Azdi al-Mausili, seorang menteri dari Syaraf al-Daulah Qarawisy, gubernur Mosul.[2] Oleh karena itu, Ibnu Jinni sering pula menambahkan nama “al-Azdi” di belakang namanya.
Asal keturunan Ibnu Jinni juga tidak diketahui dengan jelas. Ayahnya keturunan Roma dan yunani, budak Sulaiman bin Fahad bin Ahmad al-Azdi. Jadi, Ibnu Jinni bukan orang Arab. Oleh karena itu, Ibnu jinni sering menggunakan nama majikannya di belakang namanya, yaitu, Abu al-Fatah Usman Ibn Jinni al-Azdi.
Dengan lahirnya bukan sebagai orang Arab, maka Ibn Jinni berusaha meningkatkan taraf hidupnya. Ibnu Makula menyebutkan bahwa Ismail ibn al-Mu’ammal telah bercerita kepanya bahwa Ibnu Jinni orang yang terhormat, karena itulah Ibnu Jinni meletakkan nama ayahnya di belakang namanya. Nama Jinni jika ditranslitrasikan berasal dari kata gennaius, yang berarti “mulia, jenius, baik fikirannya dan ikhlas.[3]
Ibnu Jinni menghabiskan masa kanak-kanaknya juga di kota kelahirannya tersebut. Di Mosul juga ia mendapatkan pendidikan dasarnya, belajar ilmu nahwu pada gurunya yang bernama Ahmad bin Muhammad al-Mausili al-Syafi’i yang lebih dikenal dengan sebutan al-Akhfasy. Setelah itu, ia pindah ke Baghdad dan menetap di sana. Di kota ini, ia mendalami lingistik selama kurang lebih empat puluh tahun pada gurunya yang sangat ia hormati dan ia kagumi, Abu ‘Ali al-farisi.[4] Begitu lamanya Ibnu Jinni menimba pengetahuan bahasa pada Abu ‘Ali, sehingga keduanya terjalin hubungan yang sangat erat seperti hubungan persahabatan.
Selain berguru secara khusus kepada Abu ‘Ali , Ibnu Jinni juga banyak belajar pada tokoh linguistik lain, terutama yang terkait dengan pengambilan sumber bahasa (ruwat al-lugah wa al-adab), di antara mereka ialah Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Miqsam, seorang pakar qira’ah al-Qur’an, Abu Abdillah Muhammad bin al-‘Assaf al-‘Uqaili al-Tamimi, terkadang Ibnu Jinni menyebutnya dengan Abu Abdillah al-Syajari.
Ibnu Jinni hidup pada abad keempat hijriah (abad X M) yang merupakan abad puncak perkembangan dan kematangan ilmu-ilmu keislaman, yang pada umumnya para ilmuawan pada abad ini tidak saja menguasai satu disiplin pengetahuan, tetapi juga menguasai disiplin-disiplin lainnya. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila para penulis biografi Ibnu Jinni menyatakan bahwa karya-karya tokoh yang satu ini menggabungkan teori linguistik, teori prinsip fiqh (ushul fiqh), juga teori Ilmu Kalam karena dia penganut mazhab Mu’tazilah, mazhab yang juga dianut oleh guru besarnya, Abu Ali al-Farisi.[5] Ibnu Jinni menetap di Baghdad hingga wafat pada tahun 392 H tepatnya pada malam jum’at.[6]
Baik ulama sezamannya, maupun generasi para linguis yang muncul kemudian, mengakui penguasaan dan keluasan pengetahuan Ibnu Jinni atas linguistik Arab. Abu Tayyib al-Mutanabbi (w.354 H), penyair yang sangat terkenal dan sahabat Ibnu Jinni, misalnya, pernah berkomentar tentang Ibnu Jinni, “Dia adalah sosok yang kehebatannya belum diketahui oleh banyak orang”. Bahkan, apabila al-Mutanabbi ditanya tentang makna suatu kata yang ia ucapkan (dalam puisinya), atau tanda harakat (I’rab) yang dianggap aneh, dia selalu menjawab, “Tanyakanlah pada syaikh juling, Ibnu Jinni, dia akan menjawab semuanya”. Demikian pula Thash Kubri Zadah yang dikenal dengan Ahmad bin Mustafa, dalam bukunya Miftah al-Sa’adah, menyebutkan bahwa Ibnu Jinni adalah intelektual yang sangat cerdas, memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam di bidang nahwu dan sharaf. Ibnu Jinni adalah linguis yang prolific dan produktif. Ini dibuktikan dengan berbagai karyanya.[7]

B.     KARYA-KARYA IBNU JINNI
Karya Ibnu Jinni sangat banyak, sekitar 49 buah judul yang telah diketahui. Yaitu sebagai berikut:
1.      Al-Khashaish
Buku ini pertama kali dicetak dan diterbitkan oleh al-Hilal, Masir, tahun 1923. Meskipun buku tersebut belum meluas, namun pengaruhnya sagat besar di kalangan para ilmuan, sastrawan, peneliti maupun pemakai bahasa Arab.

2.      Al-Numam
Buku ini berisikan syair-syair ejekan. Buku ini merupakan syarh dari buku al-Syakiri (wafat tahun 275 H) diterbitkan di Eropa kemudian buku tersebut diberi judul كتابنا في شعر هذيلkemudian dirubah lagi menjadi Kitabi fi Diwani Hudzail kemudian berubah lagi menjadi al-Tamam, sehingga buku ini tidak diterbitkan lagi.

3.      Sirr al-Shina’ah
Tulisan pada buku ini berupa manuskrip-manuskrip. Banyak para ilmuan yang mengedit dan memberikan komentar terhadap buku tersebut kemudian mencetaknya seperti yang telah dilakukan oleh penulis buku Kasyfu al-dzhunun Abu Abbas bin Ahmad Muhammad al-Isybili yang terkenal dengan nama Ibn al-Hajj (wafat tahun 647 H).

4.      Tafsir tashrif al-maazini
5.      Syarh mustagliq abyaat al-humasah wa isytiqaq asmaai al-humasah
6.      Syarh al-Maqshur wa al-mamdud li ibn al-Sukait
7.      Ti’aaqabu al-‘Arabiyah
8.      Tafsir diiwan limutannabii al-kabir
Buku ini terdiri dari 3 jilid dan lebih tebal dari buku al-khashaish.

9.      Tafsiir ma’aanii diiwan al-mutannabii
10.  Al-luma’ fii al-‘arabiyah
Buku ini merupakan kumpulan-kumpulan perkataan guru Ibnu Jinni, yaitu Abu Ali al-Farisi. Naskahnya ada di Dar –alkutub dan buku ini banyak di syarh oleh pebgarang-pengarang di belakangm=nya, namun masih berbentuk manuskrip.

11.  Kitabu mukhtashar al-tashrif
12.  Al-Munsif
13.  Al-Tasrif al-Muluki
14.  Kitab Mukhtasar al-‘Arud wa al-Qawafi
15.  Kitab al-Hamzah al-Mamdudah
16.  Kitab al-Muqtadab
17.  Tafsir al-Muzakkar wa al-Mu’annas li Abi Ya’qub
18.  Kitabu Ta’yidi Tazkirah Abi Ali
19.  Al-Mahasin fi al-‘Arabiyah
20.  Al-Nawadir al-Mumti’ah
21.  Al-Khatiriyyat
22.  Al-Muhtasab fi syarhi Syawazi al-Qira’at
23.  Tafsir Urjuzati Abi Nawwas
24.  Tafsir al-‘Alawiyat
25.  Kitab al-Busyra wa al-Zufr
26.  Risalah fi Maddi al-Aswat wa Maqaddir al-Muddat
27.  Kitab al-Muzakkar wa al-Muannas
28.  Kitab Muqaddimati Abwabi al-Tasrif
29.  Kitab al-Naqd ‘ala Ibni Waki’ fi Syi’ri al-Mutanabbi wa Takhti’atihi
30.  Al-Mu’rib fi Syarhi al-Qawafi
31.  Kitab al-Fasl baina al-Kalam al-Khas wa al-Kalam al-‘Am
32.  Al-Talqin fi al-Nahwi
33.  Kitab al-Ma’ani al-Muharrarah
34.  Kitab al-Farq
35.  Kitab al-Fa’iq
36.  Kitab al-Khatib
37.  Kitab al-Ara’iz
38.  Kitab zi al-Qaddi
39.  Syarh al-Fasih
40.  Kitab Syarh al-Kafi fi al-Qawafi
41.  Al-Tazkirah al-Asbihaniyah
42.  Al-Tahzib
43.  Al-Muhazzab
44.  Al-Tabsirah
45.  Kitab al-Zajr
46.  Mas’alatani fi al Aimani li Muhammad ibnu al-Hasan al-Syaibani
47.  ‘Ilal al-Tasniyah
48.  Al-Masa’il al-Wasitiyyah
49.  Kitab Syarhi al-Ibdal li Ya’qub

C.    PEMIKIRAN IBNU JINNI
Seperti umumnya para linguis besar dalam tradisi linguistic Arab, semisal Sibawaih, al-Farra’, al-Farisi, al-Zamakhsyari, dan lainnya yang berlatar belakang teologi Mu’tazilah, Ibnu Jinni pun termasuk dari komunitas tersebut. Mu’tazilah adalah komunitas intelektual yang mengedepankan cara berpikir rasional.
Hanya saja, kerasionlan Ibnu Jinni dicurahkan untuk memikirkan obyek-obyek linguistic dan merumuskan teori-teori yang diharapkan bisa diterima oleh semua mazhab. Meskipun Ibnu Jinni penganut Mazhab Bashrah dan berupaya mempertahankan pandangan-pandangannya, dia tidak fanatik, bahkan ia tak segan mengambil teori-teori dari tokoh Mazhab Kufah, seperti al-Kisa’i dan Sa’lab. Bahasa yang digunakan pun cukup santun, tidak melemparkan kritik pedas layaknya persaingan mazhab nahwu. Dia menghargai pendapat yang bersebrangan dengan pendapatnya atau mazhabnya, karena baginya “…fa al-haqqu ahaqqu ‘an yutba’ ayna halla” ‘kebenaran lebih berhak atau lebih layak untuk diikuti di manapun ia berada’.
Oleh karena itu, untuk membangun teori linguistiknya, Ibnu Jinni menggunakan metode ilmiah, menjadikan bahasa sebagai objek ilmiah, menggabungkan metode deskriptif dan filsafati (rasional) sebagai piranti analisisnya. Metode deskriptif ia gunakan dalam melihat realitas dan hakekat bahasa. Baginya, bahasa adalah realitas sosial. Oleh karena itu, semua bahasa yang muncul di tengah masyarakat adalah memiliki status yang sama. Ini seperti terlihat dalam definisinya mengenai nahwu yang menurutnya ialah “meniru cara bertutur orang Arab, segi perubahan I’rab-nya dan pola yang lain, seperti meniru pola bentuk dual (tasniyyah), plural (jamak), tahqir (tasgir), jamak taksir (irregular), idafah, penisbatan (al-nasab), struktur kalimat dan lain sebagainya. Ini semua agar orang non-Arab bisa bertutur sefasih orang Arab…”. Di sini, Ibnu Jinni tidak membatasi bahasa orang Arab dari suku tertentu, atau bahasa Arab dari level tertentu yang dapat ditiru.[8]
Adapun metode filsafati ia gunakan untuk menguraikan alasan-alasan, sebab-sebab (al-ta’lilat) yang tersembunyi di balik gejala atau fenomena bahasa. Meskipun demikian, hamper seluruh ta’lil yang dilakukan oleh Ibnu Jinni adalah ta’lil sosial, artinya, semua alasan-alasan yang ia kemukakan dikembalikan pada para penutur bahasa itu sendiri. Penggabungan dua metode Ibnu Jinni ini, dapat terbaca jelas dari uraian, analisis, juga berbagai definisi yang ia rumuskan tentang “al-qaul, al-kalam, al-lugah, al-nahw, al-I’rab, al-bina, asl al-lugah “ dan lain-lain.[9]
Pada dasarnya Ibn Jinni berpendapat bahwa makna adalah hasil akhir dari analisis menyeluruh terhadap peristiwa kebahasaan yang terjadi pada lafal. Karena itu, dalam mempelajari makna harus ditinjau dari segala kebahasaan yang mencakup konteks sosial, fonologis, morfologis, sintaksis dan leksikal.[10]
Selanjutnya penulis akan menguraikan beberapa pendapat-pendapat Ibnu Jinni mengenai pembahasan lingusitik. Di antaranya:
1.      Perbedaan Kalam dan Qaul
Jauh sebelum Ferdinand de Saussure , bapak linguistic modern Eropa, khususnya aliran structural-deskriptif, menggagas tiga terminologinya yang masyhur : parole, langage, dan langue, di Bagdad, meskipun dalam konteks dan pengertian yang berbeda dari De Saussure, Ibnu Jinni dengan cerdas dan jeli telah memulai bukunya, al-Khasais, dengan membahas perbedaan antara makna “kalam” dan “qaul”.
Ibnu Jinni mempraktekkan teorinya yang ia sebut al-isytiqaq al-akbar, yaitu penyimpulan makna dari suatu kata yang memiliki suku kata yang sama. Tiga suku kata ق و ل  (qaf, wawu,lam) bisa dibolak-balik menjadi enam pola yaitu:
ق و ل – ق ل و – و ق ل – و ل ق – ل ق و – ل و ق
Menurutnya, keenam pola tersebut menunjukkan makna yang sama, yaitu “ringan dan cekatan” (al-khufuf wa al-harakah). Ibnu Jinni lebih lanjut memberikan contoh masing-masing dari semua bentuk tersebut.[11] Sedangkan, tiga suku kata ك ل م  meskipun diubah dan dibolak-balik pola dan bentuknya seperti
ك ل م – ك م ل – ل ك م – م ك ل –ل م ك
Dari kelima bentuk tersebut, kecuali bentuk yang terakhir, menunjukkan makna yang sama, yaitu “kuat dan keras” (al-quwwah wa al-syiddah).[12]
Setelah selesai menguraikan makna kata dari derivasi suku kata qaf, wawu, lam, dan kaf, lam dan mim di atas, selanjutnya Ibnu Jinni mendefinisikan “kalam” dan “qaul”.
Kalam ialah setiap ujaran yang berdiri sendiri dan memiliki makna yang oleh kalangan ahli nahwu disebut “jumlah” seperti ujaran, زيد أخوك، قام محمد، ضرب سعيد، فى الدار أبوك، صه، مه  dan lain sebagainya.
Adapun qaul, pada dasarnya ialah setiap ujaran yang mudah diucapkan oleh lidah kita, baik yang berdiri sendiri dan bermakna (jumlah mufidah) maupun tidak. Jadi, pengertian kalam lebih umum daripada qaul, setiap kalam adalah qaul, dan tidak sebaliknya.[13]
Paparan Ibnu Jinni tentang perbedaan kalam dan qaul dari aspek fungsi penggunaannya ialah representasi dari rasionalitasnya yang disukung oleh fakta-fakta, sedangkan definisi bahasa yang melibatkan unsur bunyi, penuturnya, unsur komunikasi dan penegasan perbedaan bahasa setiap suku bangsa adalah mewakili dimensi sosiologis yang mengaitkan bahasa dengan perilaku manusia. Dengan demikian, pengetahuan bahasa pun bersumber dari fakta bahasa, atau hasil deduksi dari fakta atau fenomena bahasa, bukan dari murni akal manusia.[14]
Selanjutnya, Ibnu Jinni mengurai perbedaan makna keduanya dari segi penggunaanya. Yaitu :
a.       Kata ‘qaul’ digunakan dan mengandung makna keyakinan atau pandangan, seperti Fulanun yaqulu bi qauli Abi Hanifata, wa yazhabu ila qauli Malik. Pernyataan tersebut tidak hanya menyatakan bahwa si Fulan meniru ucapan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik tanpa menambah atau mengurangi, tapi yang dimaksudkan ialah bahwa si fulan itu mengikuti pendapat dan gagasan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.[15]
b.      Kata ‘kalam’ adalah kalimat yang mandiri , sempurna maknanya. Oleh karena itu, Ibnu Jinni menyatakan bahwa bukti adanya perbedaan antara keduanya ialah telah menjadi kesepakatan bersama menyebut al-Qur’an dengan Kalamullah, bukan Qaulullah.[16]

2.      Al-Lugah ‘bahasa’
Kata لغة  mengikuti wazan فعلة  berasal dari kata لغوت  bermakna ‘saya berbicara’. Akar katanya adalah لغوة  seperti كرة  dan قلة  juga وثبة  yang semuanya mengandung huruf lam dan wawu , karena orang Arab mengatakan كروت  dan قلوت. Bisa juga kata لغة  berasal dari kata لغي – يلغي  yang bermakna ‘bicara yang tak berarti’, dimana bentuk masdarnya adalah اللغا  atau اللغو.[17]
Sedangkan bahasa menurut Ibnu Jinni adalahbunyi-bunyi yang dipakai oleh setiap kaum untuk menyatakan tuiuannya. Definsi ini mengandung unsur-unsur pokok definisi bahasa dan sesuai dengan banyak definsi modern tentang bahasa. Ia menjelaskan karakteristik bunyi bahasa dan menegaskan bahwa bahasa adalah bunyi. Dengan ini ia menghindari kesalahan umum yang menganggap bahwa bahasa dalam substansinya merupakan fenomena tulis. Juga, definisi Ibnu Jinni menjelaskan bahwa bahasa memiliki fungsi sosial yang ekspresif dan memiliki kerangka sosial. Oleh karena itu, bahasa berbeda karena perbedaan kelompok manusia. Dengan demikian definisi bahasa menurut Ibnu Jinni menjelaskan karakteristik bahasa dari satu aspek dan fungsinya dari aspek lain.
Bahasa merupakan bunyi yang diekspresikan untuk menyampaikan atau menyatakan maksud. Dalam hal ini, bunyi menjadi titik tekan Ibnu Jinni. hal ini diperkuat lagi dalam ulasannya seputar perubahan tanda I’rab yang terjadi pada huruf akhir kata benda dalam sebuah kalimat. Menurutnya, yang menjadi factor pengubah adalah bukan apa yang disebut dalam tradisi nahwu dengan “aamil”, tetapi manusia itu sendiri yang merubah I’rab-I’rab tersebut. Kemudian, dia mencontohkan kalimat ضرب سعيد جعفرا . Kata daraba pada kalimat tadi, sejatinya tidak berpengaruh apa-apa, karena kata daraba ialah kata yang terdiri dari suku kata dad, ra’ dan ba’, mengikuti wazan fa’ala yang hanya merupakan bunyi atau suara, sedangkan suara termasuk sesuatu yang tidak dapat melakukan perbuatan.[18]
Di sisi lain, pendefiniasian bahasa oleh Ibnu Jinni ini nampaknya menandai perubahan metodologi kajian linguistik Arab. Umumnya, para linguis sebelum Ibnu Jinni atau bahkan mereka yang semasa dengannya, tak satu pun yang membuat definisi bahasa. Indikasinya, hampir semua literature Arab modern ketika mendefinisikan bahasa selalu mengacu pada definisi Ibnu Jinni, baru kemudian mengacu definisi tokoh-tokoh yang muncul setelah Ibnu Jinni, seperti Ibnu Khaldun (1332 M – 1406 M), yang mendefinisikan bahasa sebagai, berbagai peristilahan yang telah digunakan oleh umat (penuturnya) untuk menyatakan maksudnya. Pernyataan ini berupa tindakan verbal, karenanya ia mestilah melekat kuat pada organ yang berfungsi menyatakan, yaitu lisan. Setiap bangsa memiliki bahasa mereka sendiri.[19]
Tokoh nahwu madzhab Andalus dan Spanyol dalam bait Alfiyah hanya membedakan antara kalam dan qaul yang barangkali terinspirasi dari Ibnu Jinni, sehingga hampir memiliki definisi yang sama antara keduanya.
3.      Dalalah
Dalalah oleh Ibnu Jinni dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)      Dalalah lafziyyah, yaitu makna yang ditimbulkan oleh lafal atau suara dari kata tersebut, misalnyaضرب  menunjukkan suara pukulan (tentunya untuk kata-kata yang berasal dari peniruan suara, atau intonasi untuk kata yang bukan berasal dari peniruan suara).
2)      Dalalah shinaiyyah, yaitu makna yang dipengaruhi oleh bentuk kata atau shigah, dalam bentuk madly menunjukkan adanya perbuatan dan waktu perbuatan tersebut . Perbedaan antara kata صابر  dan صبور , yang pertama berarti orang yang sabar, yang kedua berarti orang yang sangat sabar. Perbedaan makna ini disebabkan oleh perbedaan shighah.
3)      Dalalah ma’nawiyyah, yaitu makna terjadinya pemukulan oleh pemukul terhadap terpukul, yakni penyampaian gagasan (fikrah) melalui simbol bahasa.[20]
Ibnu Jinni (1956 : 98) menganggap dilâlah lafdziyyah (dilâlah shawtiyyah)sebagai dilâlah yang paling kuat di antara dua tingkatan dilâlah lainnya, yaitu dilâlahshinâ’iyyah dan dilâlah maknawiyyah. Dilâlah Shinâ’iyyah (dilâlah sharfîyyah) ialahdilâlah yang dihasilkan dari satuan morfologis dalam kata. Dilâlah sharfîyyah bergantungkepada dilâlah shawtiyyah, karena dilâlah sharfîyyah merupakan bentuk dari dilâlahshawtiyyah baik secara lisan maupun tulisan. Dalam contoh kata قامdilâlahsharfîyyahnya adalah zaman.
Dilâlah Nahwiyyah, yang diistilahkan oleh Ibnu Jinni dengan dilâlahma’nawiyyah adalah makna yang dihasilkan dari susunan (struktur sintaksis) kata dengankata-kata lainnya dalam kalimat. Pada contoh kata قامmaka dilâlah nahwiyyahnya adalahfâ’ilnya, karena setiap fî’il pasti ada fâ’ilnya.
4.      Isytiqaq Kabir
Isytiqaq ada dua macam, shaghir dan kabir. Yang pertama (isytiqaq shaghir) dikaji dalam ilmu sharaf , misalnya isim fa’il atau isim maf’ul yang diambil dari masdarnya seprti قائل  danمقول  dari kata قول . Yang kedua (isytiqaq kabir) dikaji dalam fiqh lughah. Isytiqaq kabir disebut juga dengan derivasi tengah, yaitu pembentukan kata turunan dengan mengubah susunan huruf-huruf konsonan. Ibnu Jinni termasuk salah seorang pendukung awal terhadap metode ini. Asumsi yang mendasari prinsip ini adalah bahwa bunyi mempunyai hubungan yang erat dengan makna tanpa memandang letak suatu huruf.[21]
Menurut Ibnu Jinni, kata-kata dalam bahasa Arab yang berasal dari tiga huruf yang sama meskipun urutan hurufnya berbeda memiliki makna umum yang sama. Misalnya kata-kata berikut ini : جبر جرب- بجر- رب- برج رجب  mempunyai makna umum yang sama yakni القوة والشدة  (kekuatan dan kekerasan).[22]
5.      Qiyas sebagai Metode Penciptaan Bahasa Baru
Menurut Ibnu Jinni, bahasa adalah sebuah system yang pembentukannya mestilah didasarkan atas kepentingan penggunanya, karena bahasa adalah milik masyarakatnya secara kolektif, bukan milik individu tertentu. Oleh karena itu, tak semestinya seorang individu tertentu menciptakan bahasa di luar yang diperlukan atau tidak disepakati masyarakatnya. Sikap seperti inilah yang nampaknya dipraktekkan oleh masyarakat Arab. Pada umumnya, mereka tidak memiliki perbedaan bahasa antara satu suku dengan yang lain. Perbedaan yang terjadi sangat sedikit dan tidak berarti apa-apa disbanding dengan kesamaanya.[23]
Ibnu Jinni menciptakan metode Qiyas yang sebelumnya dibahas juga oleh gurunya Al-Farisi . Qiyas adalah metode penciptaan bahasa baru, Ibnu Jinni membaginya dalam empat kriteria :
1)      Umum terjadi dalam qiyas dan penggunaannya sekaligus. Kriteria inilah yang seyogyanya terjadi, seperti mengiaskan pada kalimat “qaama Zaidun, darabtu ‘Amran, dan marartu bi Sa’idin”. Maksudnya, mengiaskan bahwa seiap subyek tunggal (fa’il mufrad) ditandai I’rab rafa’, obyek tunggal (maf’ul bihi) ditandai I’rab nasab, dan kata benda yang dimasuki huruf jar ditandai dengan I’rab kasrah.
2)      Umum terjadi dalam qiyas, tetapi jarang digunakan seperti bentuk fi’il madi dari kata يذر  dan يدع . Artinya, kedua kata tersebut boleh digunakan dengan cara qiyas, tapi jarang digunakan. Juga seperti kata مبقل dalam perkataan orang Arabمكان مبقل  ‘daerah yang penuh dengan rerumputan/daerah subur’. Bentuk kata “mubqil” meskipun digunakan oleh masyarakat dan betul menurut qiyas, tetapi masyarakat lebih memlih menggunakan kataباقل  (baaqil), makaanun baaqilun, bukan makaanun mubqilun.
3)      Banyak digunakan, tetapi menyimpang dari qiyas, seperti kata استصوب  dan استحوذ , sedangkan jika mengikuti qiyas bentuk katanya adalah استصاب  dan استحاذ  tanpa huruf wawu illat.
4)      Menyimpang dari qiyas dan sekaligus jarang digunakan, seperti tetap pempertahankan huruf wawu pada isim maf’ul dalam kata yang ‘ain fi’il-nya berupa wawu, seperti kalimat فرس مقوود  dan توب مصوون . Kedua, kata tersebut berasal dari kata dasar قاد  dan صان  yang asalnya قود  dan صون . Menurut qiyas yang standar isim maf’ul-nya ialah مقود  dan مصون , dengan satu wawu saja.[24]
Ibnu Jinni juga menjelaskan hubungan antara qiyas dan penggunaannya (al-isti’mal) :
1)      Jika terjadi benturan (pertentangan) antara qiyas dan penggunaan dalam arti “umum digunakan namun menyimpang dari segi qiyas”, maka yang menjadi acuan atau yang didahulukan adalah segi “umum penggunaan”. Hanya saja, kata yang digunakan tersebut tidak boleh dijadikan parameter qiyas, seperti kata استحوذ  dan استصوب. Jadi tidak boleh mengiaskan kata استقام  dan استساغ  misalnya, menjadi استقوم  dan استسوغ.
2)      Jika tidak umum digunakan, tetapi umum dalam qiyas, maka ikutilah cara orang Arab saja. Namun, lakukan pada kasus lain yang senada atau se-wazan, di antaranya ialah seperti tidak dipakainya kata وذر  dan ودع , sebab orang Arab tidak menggunakan kedua kata tersebut, tetapi kita boleh menggunakan kata lain yang senada dengannya, seperti kata وزن  dan وعد.[25]

6.      Arbitrer sebagai Dasar Pemilihan Huruf dan Penyusunan Kata
Pada umumnya, kata dalam bahasa Arab terdiri dari dari tiga huruf. Komposisi dan pemilihan huruf-huruf tersebut bersifat arbitrer, hal ini seperti diisyaratkan oleh Ibnu Jinni sebagi berikut:
“Ketahuilah, bahwa ketika seorang penggagas atau peletak istilah dalam suatu bahasa hendak melakukan penyusunan sebuah kata, dia akan mengerahkan segenap pikirannya. Dengan inteleknya ia mencermati segi-segi yang universal dan yang particular. Dia sadar harus meninggalkan fonem yang buruk (susah) jika dirangkai seperti kata قج , هع , dan كق , dia juga tahu bahwa kata yang panjang dan membosankan karena memiliki banyak huruf tidak bisa diubah dalam bentuk yang moderat dan paling ringan, yaitu bentuk sulaasi (kata yang terdiri dari tiga huruf). Oleh karena itu, gambaran-gambaran tadi menuntut dia untuk memakai sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. Jadi, huruf-huruf pembentuk kata itulah yang mendorong orang menyeleksinya. Kejadian ini seumpama setumpuk harta yang ditaruh di depan pemiliknya, dia ambil sebagian untuk digunakan dan menyimpan sebagian yang lain, dia seleksi mana benda yang bagus dan mana yang jelek , lalu yang jelek dia buang semua. Ini sama dengan mereka yang membuang huruf-huruf yang tak layak untuk disusun atau dirangkai. Kemudian, apa yang telah dia ambil itu ia tunjukkan sisi baiknya, dan dia gunakan sesuai yang diperlukan, dan meninggalkan sebagian karena alasan seperti yang telah saya kemukaka. Dia juga tahu jika seandainya dia ambil apa yang telah dia buang untuk mengganti yang telah disimpan, itu bisa saja demikian dan dapat juga memenuhi keperluannya, misalnya, jika seseorang mau menggunakan kataلَجَع   sebagai ganti dari kata نجع  toh bisa saja dan sudah memenuhi maksudnya...”[26]
Arbitrerasi bahasa, oleh Ibnu Jinni dicontohkan dengan makhluk yang disebut dengan ‘insan’ oleh orang Arab. Jika mereka mau dan sepakat menggantinya dengan ‘marad’. Misalnya, anggota tubuh yang disebut “ra’sun” diganti dengan “sar”. Semua itu boleh-boleh saja.[27]
Penjelasan Ibnu Jinni diatas mengilustrasikan konsepsinya mengenai langkah-langkah pembentukan atau penyusunan kata sebagai berikut:
1.      Membuang (mensortir) kata-kata yang susah dibunyikan. Pada umumnya, kasus seperti ini ialah kata-kata yang terbentuk dari huruf yang memiliki makhraj (fonem) yang sama, seperti kata هع  di mana huruf ha dan ‘ain sama-sama huruf halaq.
2.      Menghindari, bukan membuang sama sekali, kata yang memiliki banyak huruf, seperti yang terdiri dari empat huruf al-ruba’i) dan yang terdiri dari lima huruf (al-khumasi).
3.      Melakukan seleksi pada kata-kata yang terdiri dari tiga huruf (al-sulatsi), karena jenis kata sulatsi inilah yang paling banyak ditemukan, dan tak mungkin memakai semuanya.
4.      Ukuran atau standar penyeleksian bersifat arbitrer, tidak ada ukuran baku, tergantung peletak atau penyusunnya.[28]


7.      Istishhab al-Hal
Pengaruh ulama ushul fikih terhadap ulama ushul nahwu tampak padapengertian ilmu. Para ulama ushul nahwu meniru ulama ushul fikih dalam pengertianushul dan dalil-dalilnya.
Istishhab al-hal adalah suatu istilah dalam ushul fikih yang digunakan oleh para ulama ushul nahwu. Istilah ini lahir pada periode terakhir ulama ushul nahwu, yaitu setelah abad ke 4 H. Ibn Jinni tidak menggunakannya, sekalipun ada
pemahaman yang sama dengan istilah ini. Ini yang kita temukan dalam “Al-Khashaish”, juz 2, halaman 459, suatu bab dalam menetapkan ucapan-ucapan menurut posisi awal sebelum ada usaha untuk meninggalkan dan merubahnya. Inilah yang diistilahkan dengan “istishhab al-hal”, istilah fikih yang didefinisikan oleh para ahli fikih dengan : “Penetapan hukum atas sesuatu dengan keadaan yang berlaku sebelumnya sampai ada dalil yang merubah keadaan itu”, atau “Pemberlakuan hukum yang berlaku pada masa lalu untuk masa kini sampai ada dalil yang merubahnya” (Ilmu Ushul Fikih, hal. 91)[29]
Ibn al-Anbari berbeda dengan Ibn Jinni, beliau menggunakan istilah ini dan mendefinisikannya. Katanya : Ketahuilah bahwa istishhab al-hal termasuk dalil yang mu’tabar, sedangkan yang dimaksud dengannya adalah menetapkan keadaan asal dalam ism yaitu i’rab, dan menetapkan keadaan asal dalam fi’il yaitu bina sampai ada yang mewajibkan bina pada ism dan mewajibkan i’rab pada fi’il. Adapun yang mewajibkan bina pada ism adalah serupa harf atau yang mengandung makna harf.[30]

D.    KONTRIBUSINYA TERHADAP BAHASA ARAB
Sebagai cendikiawan muslim yang memiliki kemampuan di berbagai bidang ilmu, Ibnu Jinni selalu memberikan kontribusi-kontribusinya pada dunia Islam dan bahasa. Namun penulis akan mengulas kontribusinya pada bidang linguistik. Karena pemikiran-pemikiran Ibnu Jinni sangat berperan di bidang bahasa, terutama bahasa Arab.
Banyak pemikiran yang telah disumbangkan oleh Ibnu Jinni dalam berbagai bidang ilmu. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, kita dapat temukan kontribusi-kontribusinya melalui karya-karya yang ia tulis. Seperti halnya mengenai bahasa Arab. Ia mengemukakan pendapatnya bahwa bahasa Arab adalah bahasa dunia yang paling banyak makna yang abstrak, bahkanbanyak kata dalam bahasa Arab telah kehilangan makna kongkrit/indrawi. Fi'il (قضي) artinya (حكم) padahal arti asalnya adalah qath'ul hissi (memutuskan dalam arti indrawi); fi'il (عقل) artinyaadalah (فهم); itu diambil dari (عقل الناقة), yaitu mengikatnya; fi'il (أدراك), arti asalnya adalah bulugh al-hissi (sampai secara fisik). Misalnya: (فلان أدراك القطار), yaitu mendapatinya/ataumengejarnya.[31]
Setiap pendapat yang ia kemukakan tidak mesti sependapat dengan para tokoh linguis lainnya. Artinya, banyak juga perbedaan pendapat yang ia kemukakan. Contohnya mengenai asal-usul bahasa. Mazhab al-Wadh’iy berpendapat asal-usul bahasa pertama adalah buatan manusia sendiri dan hasil kesepakatan. Ibnu Jinni menulis seperti dikutip Imil Badi Ya’qub bahwa para pakar bahasa berpendapat asal-usul bahasa adalah tawadhu’ (buatan manusia) bukan wahyu, meskipun teori ini tidak memilki sandaran dalil naqli dan bukti historis. Teori ini mempunyai beberapa alasan dalam rangka mendukung pendapatnya antara lain:
1.      Bahasa bukan diwahyukan langsung oleh Allah swt seperti pendirian teori tauqifi, akan tetapi ayat tersebut (QS. Al-baqarah 31) mengandung tafsir bahwa Allah swt mengilhamkan kepada manusia kemampuan (al-Qudrah) membuat bahasa sehingga dapat merancang dan mencipta bahasa. Ibnu Jinniy menulis lafdz علم di atas bermakna اقدر (Allah memberi kemampuan) kepada manusia sehingga mampu membuat lafadz-lafadz.
Firman Allah swt dalam surat al-Rahman ayat 4:
علمه البيان
“Dia (Allah) mengajarkan manusia al-bayan”.
2.      Allah swt mengajarkan kepada manusia al-Bayan. Sayyid Qutub dalam ‘Fi dzilalil Al-Qur’an’ menjelaskan, Al-Bayan adalah kekuatan atau kemampuan berbahasa. Maksudnya secara kodrati manusia memiliki kemampuan berbicara yang menjadi bawaan sejak penciptaan. Ulama lain menjelaskan makna al-Bayan senada dengan pandangan Sayyid Qutub di atas.
Sedangkan bantahan golongan ini terhadap pendapat yang mengatakan bahasa murni ilham dan pengajaran Tuhan adalah bahwa firman Allah swt Q. S. Al-Baqarah ayat 31 yang dijadikan hujjah mazhab tauqifi tesebut, menurut mazhab ini, tidak dapat dijadikan dalil bahwa bahasa memang diajarkan karena ayat tersebut multitafsir.
Keterangan di atas menjadi jelas bahwa asal-usul bahasa adalah buatan manusia, dengan alasan dan bantahan terhadap pendapat teori Tauqifi (Tokoh-Tokoh aliran aliran Al-Muwadha’ah). Secara umum, ahli yang berkutat pada penelitian saintik murni yang diwakili oleh dunia Eropa belahan barat dunia pendukung teori ini.
Berdasarkan penelusuran literatur yang membahas seputar sejarah asal-usul bahasa pertama manusia, tokoh-tokoh aliran Al-Wadh’iy adalah sebagai berikut:
Seperti ditulis Ibnu Jinni sendiri yang dikutip Abdu al-Rahman al-Burayni diketahui bahwa pada tahap ia (Ibnu Jinniy) termasuk tokoh yang berpendirian bahwa asal-usul bahasa adalah al-Wadh’iy/al-Muwadha’ah, berbeda dengan gurunya, Ibnu Faris yang berpendapat bahwa bahasa adalah ilham dan murni pengajaran Tuhan. Tetapi seiring perjalanan waktu dan kematangan keilmuan serta perenungannya akhirnya Ibnu Jinni berpendapat bahwa yang kuat dalam jiwa saya setelah lama merenungkan perkara ini adalah asal-usul bahasa adalah tauqifi.
Terdapat jugakontribusinya mengenai istilah nahwu dan cakupannya. Dalam mengkaji struktur bahasa dari segi fonologi, morfologi, dan sintaksis, para linguis mengistilahkan dua nama dalam pusaka Arab, yaitu: 1) nahwu dan 2) ilmu bahasa Arab. Istilah nahwu merujuk ke abad 2 Hijriyah. Ia masih dipakai untuk mendeskripsikan bidang kajian ini sampai sekarang. Kitab Sibawaih diklasifikasikan ke dalam kitab tentang nahwu. Abu Thayyib, linguis (351 H) menamakannya Qur`an an-Nahwi. Juga, Sibawaih dikenal sebagai orang yang paling mengetahui nahwu sesudah Khalil. Dengan pengertian ini, nahwu mencakup seperangkat kajian yang diklasifikasikan dalam linguistik modern dalam kerangka fonologi, morfologi, dan sintaksis. Sesungguhnya Sibawaih penyusun kitab tentang nahwu (gramatika) bahasa Arab yang paling klasik yang sampai kepada kita tidak membagi ktiabnya ke dalam topik-topik besar yang distingtif. Akan tetapi ia cukup menghimpun banyak bab secara berturut-turut. Ia memulai kitabnya dengan masalah i'rab dan dari masalah i'rab, ia beralih ke sejumlah masalah yang berkaitan dengan nahwu. Sesudah itu ketika ia beralih ke bab-bab yang bertalian dengan struktur sharaf (morfologi), ia harus menafsirkan beberapa struktur itu berdasarkan kajian fonologi kemudian pada akhir kitabnya dicantumkan bab-bab yang bertalian dengan fonologi. Sibawaih tidak membuat istilah-istilah yang membedakan dengan jelas segmen-segmen fonologi, morfologi, dan sintaksis. Semua ini menurutnya termasuk dalam satu bidang, yaitu bidang nahwu (gramatika).
Pada abad-abad pertama hijriyah, para linguis masih memakai istilah nahwu dalam banyak hal dengan makna umum ini. Dalam definisi Ibnu Jinni (391 H) nahwu mencakup skop-skop berikut: i'rab, tatsniyah, jamak, tahqir, taksir, idhafat, nasab, tarkib, dan sebagainya. Maka menurut Ibnu Jinni nahwu mencakup kajian-kajian ini yang diklasifikasikan sekarang dalam kerangka morfologi di samping hal yang berkaitan dengan sintaksis.[32]
Demikianlah pemikiran-pemikiran Ibnu jinni yang dikontribusikan sebagai seorang tokoh linguis. Tentunya, semua pemikiran Ibnu Jinni sangat berperan dalam bahasa Arab.Dengan ketekunan Ibnu Jinni menelususri bidang lingusitik, kontribusinya terhadap bahasa Arab sangatlah luas. Sehingga pembahasan atau kajian bahasa semakin mendalam dan berkembang.


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari uraian dan ulasan tentang pemikiran Ibnu Jinni di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Jinni mencoba membawa wacana dan diskusi-diskusi linguistik Arab dari yang semula terfokus pada perdebatan nahwu dan fanatisme mazhabnya kepada kajian-kajian yang lebih umum dan komprehensif.
Bahasa, dalam pandangan Ibnu jinni, bukan merupakan murni entitas rasional tetapi memiliki dimensi sosial, karena itu, metode, teori dan pendekatan yang dia gunakan pun mestilah menggabungkan keduanya.
Jika teori linguistik Barat Modern memfokuskan obyek kajiannya pada empat unsur penting : Fonetik, sintaksis, morfologi dan semantic, maka sesungguhnya tradisi linguistic Arab, meskipun belum tersistem secara terpadu jauh mendahului kajian mereka seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jinni. Bahkan pendekatan sosiologis atau yang lain dapat kita telusuri dan dicari akarnya dari teori-teori Ibnu Jinni dan para linguis generasi setelahnya.
Teori dan metode serta pemikirannya dalam linguistik diantaranya adalah perbedaan kalam dan qaul, al-Lugah ‘bahasa’,dalalah,isytiqaq kabir,teori qiyas sebagai metode penciptaan bahasa baru, arbitrer sebagai dasar pemilihan huruf dan penyusunan kata, serta istishhab al-hal.
B.     SARAN
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyarankan agar makalah ini ditinjau kembali keabsahannya dengan cermat. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dipelajari.



DAFTAR PUSTAKA

عكابي، رحاب حضرب. موسوعة عباقرة الاسلام في النحو واللغة والفقه. بيروت .1993 .
النجار، عبد الحليم. تاريخ الادب العربي الجزء الثاني.دارالمعارف.
الطظاوي، محمد.نشأة النحو و تاريخ أشهرالنحاة.1969.
Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat Vol.8.2009.
Aminullah. Langkah Kodifikasi Bahasa Arab dan Kajian Filologi (Karya Ilmiah). Fakultas Sastra. Universitas Sumatera Utara. medan 2008.
Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais. Muhammad Ali al-Najjar (editor). Bairut: Alam al-Kutub.
Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman. al-Lam’u.
PDFLinguistik Arab. Diunduh pada tanggal 21 Juni 2012. Pukul 07:53 WIB.
Hamid Hamdani, Wagino. Filsafat Bahasa Arab. Bandung:PSIBA Press. 2008. h. 38. (buku asli : Usman Amin. Falsafah al-Lughah al-‘Arabiyah. Kairo:Maktabah Mesir. 1965.)
Zaenuddin,Mamat. Beberapa Istilah Ushul Nahwu yang Dipengaruhi oleh Ushul Fiqh, Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Jadal dan Mantik. Makalah Studi Naskah Pemikiran Bahasa Arab. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (S3). 2004.


[1]الدكتور رحاب حضرب عكابي. موسوعة عباقرة الاسلام في النحو واللغة والفقه.1993. بيروت. ص 96
[2]Ibid.
[3]Ibnu Jinni, al-kshaish (beirut : Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1983), jilid 1, h. 8.
[4]الدكتور عبد الحليم النجار.تاريخ الادب العربي الجزء الثاني.دارالمعارف.ص 244
[5]Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat Vol.8.2009. h 54
[6]الدكتور رحاب حضرب عكابي. موسوعة عباقرة الاسلام في النحو واللغة والفقه.1993. بيروت. ص 100
[7]Opcit. h. 55
[8]Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat Vol.8.2009. h. 57.
[9]Ibid. h. 58.
[10]Ibnu Jinni, al-kshaish (beirut : Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1983), jilid 1, h. 374.
[11]Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, h.5-12
[12]Ibid. h.13-17.
[13]Ibid. h.17.
[14]Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat Vol.8.2009.h. 61.
[15]Ibid. h.60 .
[16]Ibid. h.59 . Lihat juga di kitab al-Khashaish jilid 1 h. 17 dan 18.
[17]Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, h.33
[18]Ibid. h.109
[19]http://sukamta.wordpress.com/2010/06/30/41/ diunduh pada hari selasa 19/06/2012 pukul 08:25 WIB.
[20]Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat Vol.8.2009. h. 61
[21] Aminullah. Langkah Kodifikasi Bahasa Arab dan Kajian Filologi. Karya Ilmiah. Fakultas Sastra. Universitas Sumatera Utara. medan 2008. h. 12.
[22]http://sukamta.wordpress.com/2010/06/30/41/ diunduh pada hari selasa 19/06/2012 pukul 08:25 WIB.
[23]Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman. 1983.Al-Khashais, Hal.224
[24]Ibid. h.97-98.
[25]Ibid.
[26] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman. Al-Khashais. 1983.  h. 64-65.
[27] Abdillah, Zamzam Afandi.  Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik (dalam Adabiyyat).  Vol. 8. 2009. h. 65. Lihat juga di kitab al-Khashaishjilid 1 h. 44.
[28]Ibid. h. 68.
[29]Mamat Zaenuddin. Beberapa Istilah Ushul Nahwu yang Dipengaruhi oleh Ushul Fiqh, Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Jadal dan Mantik. Makalah Studi Naskah Pemikiran Bahasa Arab. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (S3). 2004.  h. 1.
[30] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman. al-Lam’u. h. 141.
[31] Wagino Hamid Hamdani. Filsafat Bahasa Arab. Bandung:PSIBA Press. 2008. h. 38. (buku asli : Usman Amin. Falsafah al-Lughah al-‘Arabiyah. Kairo:Maktabah Mesir. 1965.)
[32]Linguistik Arab. Diunduh pada tanggal 21 Juni 2012. Pukul 07:53 WIB.